FIQIH MUAMALAH
tentang
Akad
(Perjanjian / Perikatan)
DOSEN PEMBIMBING :
Fuad Rahaman, S.Hi, M. IS
Disusun oleh :
Kelompok 2
v Siti Romlah
v
Riyanto
v
Irsyhadul Fikri
EKONOMI ISLAM JURUSAN
PERBANKAN
SEMESTER TIGA B
KATA
PENGANTAR
Segala puji bagi Allah Swt yang telah menolong
hamba-Nya menyelesaikan makalah ini dengan penuh kemudahan. Tanpa pertolongan
Dia mungkin penyusun tidak akan sanggup menyelesaikan dengan baik. Makalah ini
di susun oleh penyusun dengan berbagai rintangan, baik itu yang datang dari
diri penyusun maupun yang datang dari luar. Namun dengan penuh kesabaran dan
terutama pertolongan dari Tuhan akhirnya makalah ini dapat terselesaikan.
Makalah ini memuat tentang :
“Akad (Perikatan Atau Perjanjian)”
Pada akhir penulisan ini ada beberapa saran yang
dapat dijadikan sebagai bahan pertimbangan khususnya bagi kalangan praktisi
ataupun pemerhati ilmu pengetahuan hukum, agar dapat mengkaji lebih dalam
mengenai pengertian dan perbandingan asas-asas berlakunya ketentutan pidana
menurut lingkungan dalam perspektif hukum Islam dan hukum positif, karena hal
tersebut menyangkut kepentingan berlakunya hukum pidana Islam di antara
berlakunya hukum pidana positif.
yang
sangat berpengaruh bagi kemajuan umat muslim. Walaupun makalah ini mungkin
kurang sempurna tapi juga memiliki detail yang cukup jelas bagi pembaca. Semoga
makalah ini dapat memberikan wawasan yang lebih luas kepada pembaca. Walaupun
makalah ini memiliki kelebihan dan kekurangan. Penyusun mohon untuk saran dan
kritiknya.
Terima kasih
Penulis
BAB I
PENDAHULUAN
Latar Belakang Masalah dan Tujuan
Masalah
Sebagai
makhuk sosial, manusia tidak bisa lepas untuk berhubungan dengan orang lain
dalam kerangka memenuhi kebutuhan hidupnya. Kebutuhan manusia sangat beragam,
sehingga terkadang secara pribadi ia tidak mampu untuk memenuhinya, dan harus
berhubungan dengan orang lain.
Manusia
tidak dapat lepas dari hukum dalam setiap sendi-sendi kehidupannya. Hal
tersebut terjadi pula dalam tatanan masyarakat. Indonesia menganut pluralitas
hukum dimana terdapat tiga sistem hukum yang berlaku sebagai hukum positif,
yaitu hukum barat, hukum adat, serta hukum Islam Hukum Islam bersifat
universal, artinya berlaku sama bagi semua pemeluk agama Islam dimanapun,
tidak terbatas pada nasionalitas seseorang.
Keberlakuan
hukum Islam di Indonesia dipengaruhi oleh hukum adat. Hal tersebut diakibatkan
oleh sejarah bangsa Indonesia yang menunjukkan bahwa setiap wilayah memiliki
hukum adatnya masing-masing sebagai hukum positif mereka. Dalam pranata sosial adat mereka, hukum adat yang didasari
oleh asas magis-religius, yang merupakan pengaruh dari hukum Islam, merubah
kaedah kesusilaan menjadi kaedah hukum yang kemudian berlaku dalam masyarakat
mereka.
Hubungan
antara satu dengan manusia yang lain dalam memenuhi kebutuhan, harus terdapat
aturan yang menjelaskan hak dan kewajiban keduanya berdasarkan kesepakatan,
proses untuk membuat kesepakatan dalam kerangka memenuhi kebutuhan keduanya,
lazim disebut dengan proses untuk berakad atau melakukan kontrak.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
PENGERTIAN
AKAD
Secara
umum, pengertian akad dalam arti luas hampir sama dalam pengertian akad dalam
segi bahasa yang artinya segala sesuatu yang dikerjakan oleh seseorang
berdasarkan keinginan sendiri, seperti wakaf, talak, atau sesuatu yang
pembentukannya membutuhkan keinginan dua orang seperti jual beli, perwakilan
dan gadai.
Pengertian
akad dalam arti khusus, antara lain akad merupakan perikatan yang di tetapkan
dengan ijab qobul berdasarkan ketentuan syara’ yang berdampak pada objeknya.
Akad juga bisa dikatakan sebagai pengaitan ucapan yang salah seorang yang akad
dengan yang lain dengan yang lainnya secara syara’ pada segi yang tamapak dan
berdampak pada objeknya.
Dengan
demikian ijab qobul adalah salah satu perbuatan atau penyataan untuk
menunjukkan suatu keridhoan dalam berakad diantara dua orang atau lebih,
sehingga terhindar atau keluar dari suatu ikatan yang tidak berdasarkan syara’.
oleh karena itu, dalam islam tidak semua bentuk kesepakatan atau perjanjian
dapat di kategorikan sebagai akad, terutama kesepakatan yang tidak didasarkan
pada keridoan dan syariat islam.
B.
RUKUN
AKAD
Rukun
bisa diartikan sebagai perkara yang dijadikan sebagai landasan atas wujudnya
sesuatu dan merupakan bagian inheren atas hakikat sesuatu itu. Rukun akad dapat
di definisikan sebagai segala sesuatu yang bisa di gunakan untuk mengungkapkan
kesepakatan atas dua kehendak, atau sesuatu yang bisa disamakamn dengan hal itu
dari tindakan, isyarat atau korespondensi.
Menurut
mazhab hanafi, ijab dan qobul merupakan rukun akad yang terdapat dalam akad
yang hanya satu yakni shirat atau ijab qobul tersebut, adapun rukun akad yang
lainnya merupakan derifasi dari shigat, dalam artian sighat tidak akan terjadi
jika tidak terdapat dua pihak yang bertransaksi ( ma’qud alaih ) dengan
demikian menurut hanafiah sighat sudah bisa diwakili dua rukun yang lainnya.
Berikut
adalah rukun-rukun akad ulama’ selain hanafiah :
v Orang
yang akad ( akid ), yaitu penjual dan pembeli.
v Sesuatu
yang diakadkan ( ma’qud alaih ), seperti harga atau yang dihargakan.
v Sighat
( iajab qobul ).
C. PEMBENTUKAN AKAD
Pembentukan
akad terdiri dari tiga unsur, yaitu :
1. Rukun akad.
2.
Unsur-unsur
akad.
Unsur-unsur akad
adalalah sesuatu yang merupakan pembentukan adanya akad, yaitu shigat akad,
syarat-syarat ijab dan qobul.
a.
Shigat akad
Shigat
akad sering disebut dengan ijab qabul adalah sesuatu yang disandarkan dari dua
pihak yang berakad yang menunjukkaan atas apa yang ada dihati keduanya tentang
terjadinya suatu akad. Hal ini dapat diketahui dengan ucapan perbuatan maupun
tulisan. Sebagai contoh : seseorang yang membeli dipasar atau membeli barang
dengan cara online.
b.
Syarat-syarat ijab qabul
Para
Ulama menetapkan syarat-syarat dalam Ijab qabul, yaitu :
1.
Ijab dan Qabul harus jelas maksudnya
sehingga dipahami oleh pihak yang melangsungkan akad.
2.
Antara Ijab dan Qabul harus sesuai.
3.
Antara Ijab dan Qabul harus bersambung
dan berada ditempat yang sama jika kedua belah pihak hadir atau berada ditempat
yang sudah ditentukan oleh keduanya.
3.
Keinginan
mengadakan akad
Keinginan
mengadakan akad terbagi dua, yaitu ;
a. Keinginan
Batin (Niat atau Maksud)
Keinginan
batin dapat terwujud dengan adanya kerelaan.
b. Keinginan
yang Zahir
Keinginan
zahir adalah shigat atau lafadz yang mengungkapkan keinginan batin. Apabila
keinginan batin dan zahir itu sesuai, maka akad dinyatakan syah. Akan tetapi
apabila salah satunya tidak ada, seperti orang yang hendak jual beli maka
akadnya tidak syah karena keinginan batinnya tidak ada.
D. SYARAT AKAD
Berdasarkan
unsur akad yang telah dibahas diatas, ada beberapa macam syarat akad. Yaitu ;
syarat terjadinya akad, syarat sah akad, dan syarat pelaksanaan akad.
1.
Syarat-syarat
terjadinya akad
Menurut
mazhab hanafi syarat-syarat terjadinya dalam akad dapat di ketegorikan menjadi
tiga bagian yaitu :
a.
Syarat shahih
Adalah
syarat yang sesuai dengan subtansi akad, mendukung dan memperkuat subtansi
akad, dibenarkan oleh syara’ atau sesuai dengan urf ( kebiasaan ) masyarakat.
Contoh syarat yang sesuai dengan subtansi akad adlah syarat yang di ajukan oleh
penjual untuk mebayarkan harga barang atau menyarahkan barang bagi pembeli.
b.
Syarat fasid (Rusak)
Adalah
syarat yang tidak sesuai dengan salah satu keriteria yang ada dalam syarat
shahih. dalam arti, ia tidak sesuai dengan subtansi akad atau mendukungnya, tidak
esuai dengan,urf ( kebiasaan ), masyarakat dan syarat itu memberikan mamfaat
bagi salah atu pihak. Misalnya, menjual rumah dengan syarat penjual harus
menempatinya selama satu tahun.
c.
Syarat batil
Adalah syarat yang tidak memenuhi
ceriteria syarat shahih, dan tidak memberikan nilai mamfaat bagi salah satu
pihak atau lainnya. Akan tetapi, maslah menimbulkan dampak negaitif bagi salah
satu pihak. Misalnya, penjual mensyaratkan kepada pembeli untuk tidak menjual
barang yang di belinya kepada seseorang, menjual mobil dengan syarat tidak
boleh di kendarai oleh seseorang.
2.
Syarat
Sah Akad
Syarat Sah Akad adalah
segala sesuatu yang disyaratkan dalam akad harus dilaksanakan untuk menjamin
keabsahan akad, jika tidak terpenuhi salah satu saja maka akad tersebut rusak.
3. Syarat Pelaksanaan Akad
Dalam pelaksanaan akad ada dua syarat,
yaitu kepemilikan dan kekuasaan. Kepemilikan adalah sesuatu yang dimiliki oleh
seseorang sehingga ia bebas beraktivitas dengan apa-apa yang dimilikinya.
Sedangkan kekuasaan adalah kemampuan seseorang dalam bertashawuf sesuai dengan
aturan-aturan Islam.
Dalam
pelaksanaan akad ini disyaratkan antara lain ;
a.
Barang yang dijadikan akad harus
kepunyaan orang yang akad.
b.
Barang yang dijadikan akad tidak sedang
berkaitan dengan kepemilikan orang lain.
E.
BEBERAPA
CARA YANG DI TEMPUH DALAM AKAD
Para ulama’fiqh menerangkan beberapa cara
yang di tembpuh dalam akad yaitu :
1. Dengan
cara tulisan ( kitabah ), misalnya dua aqid berjahuan tempatnya, maka ijab
qobulnya boleh dilakukan dengan kitabah.
2.
Isyrat. Bagi orang-orang tertentu, akad
atau ijab qobul, tidak dapat dilaksanakan dengan ucapan atau tulisan, misalnya
seseorang yang bisu tidak dapat mengadakan ijab qobul dengan bahasa, orang yang
tidak pandai tulis baca tidak mampu mengadakan ijab qobul dengan tulisan.
Dengan demikian ijab qobul dilakukan dengan isyarat.
3.
Ta’athi (saling memberi ), seperti
seseorang yang melakukan pemberian kepada seseorang dan orang tersebut
memberikan imbalan kepada yang memberi tanpa di tentukan besar imbalannya.
4.
Lisan al-hal. Menurut sebagian
ulama’apabila seseeorang meninggalkan barang-barang di hadapan orang lain,
kemudian dia pergi dan orang yang di tinggali barang-barang itu berdiam diri
saja, hal itu di pandang telah ada akad ida’ ( titipan ) antara orang yang meletakkan
dan yang menghadapi barang titipan itu
dengan jalan dalalah al-hal.
BAB
III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Akad sangat
penting dalam kehidupan manusia, karna manusia tidak bisa lepas untuk
berhubungan dengan orang lain dalam rangka memenuhi kebutuhan hidupnya.
Hubungan
antara satu manusia dengan manusia lain dalam memenuhi kebutuhan, harus
terdapat aturan yang jelas yang menjelaskan hak dan kewajiban keduanya
berdasarkan kesepakatan atau lazim di sebut dengan proses untuk berakad.
Ijab
dan qobul merupakan ucapan dan tindakan yang mencerminkan kerelaan dan
keridhoan kedua pihak untuk melakkukan kontrak / kesepakatan. Akad yang
dilakukan harus berpijak pada dikursus yang di benarkan oleh syara’ tidak boleh
bertentangan dengan syara’.seperti kesepakatan untuk membunuh, traksaksi
narkoba, aksi perampokan , menikah dengan muhrim dan lainya. Hal ini tidak bisa
di katakan sebagai akad.
B. SARAN
Dalam penulisan
makalah ini kami menyadari masih banyak kekurangan oleh karena itu mohon kritik
dan syaran yang membangun demi kesempurnaan makalah ini agar makalah ini
bermamfaat bagi kita semua.
DAFTAR
PUSTAKA
Dimyauddin
djuwaini, fiqh muamalah, pengantar piqh muamalah, pustaka pelajar, cileungsi,
2007.
H.
rachmat syafei, fiqh muamalah, untuk
uin, stain, ptais, dan umum, cv pustaka setia, bandung, 2000.
0 Komentar:
Posting Komentar
Berlangganan Posting Komentar [Atom]
<< Beranda